Sabtu, 12 September 2009

Takut

Saat kita tumbuh bersama dan terbang di dalam indahnya masa anak-anak, pernahkah kamu menyangka bahwa kita akan menjadi dua orang yang saling menyintai? Sampai saat ini aku masih berpikir bahwa apa sebenarnya cinta yang kita rasakan ini karena memang kita sering menjalani waktu bersama? Atau cinta ini muncul seiring dengan kedewasaan?
Aku ingat dulu saat aku tidak ada kamu sering merenung sendirian di atas bangku di bawah pohon jambu air di samping rumahku. Sesaat setelah aku tiba dari mana saja (biasanya bermobil dengan keluargaku ke rumah nenekku) sesaat itu pula kamu tersenyum dan kembali ceria. Dapatkah itu kuartikan cinta darimu untukku?
Dan saat kamu tidak ada, aku pun begitu. Aku selalu termenung menunggumu di tempatmu menungguku. Sesaat senyumku menghias bila kau datang mengajakku bermain di lapangan samping rumah Pak RT Hasan. Cerita kita begitu indah saat kecil dulu, adapun pertengkaran kecil saat dulu adalah saat kita berbeda pendapat mengenai ayam dan telur.

“Ayam!” Teriakmu,
“telur!” Balasmu tak kalah keras teriakannya.
“Ayam!” Aku tak mau kalah.
“Telur!” Kamu tetap keras kepala.

Sahut-sahutan ayam dan telur terus kita lakukan hingga akhirnya kamu kalah dalam tangis. Aku tidak tahu kenapa saat itu kamu menangis, lalu kau berlari menuju rumahmu. Seperti apa yang dilakukan anak-anak, mereka mengadu kepada orang tuanya. Akhirnya orang tuamu dan orang tuaku saling berunding. Ibumu dan Ibuku, mereka berdua tertawa. Karena memang tidak ada yang tahu awal mula telur dan ayam.
Aku yang sudah suka menulis saat itu menulis seperti ini pada catatan kecilku,

Aku percaya bahwa yang lebih dulu ada adalah ayam! Karena ayam yang mengeluarkan telur! Bagaimana bisa telur ada kalau tidak ada ayam?
Dasar anak aneh!

Kita saling diam setelah pertengkaran itu,.bangku panjang di bawah pohon jambu di samping rumahku tak lagi berpenghuni. Karena memang tidak ada anak-anak lain yang bermain di sana. Sesekali aku hanya melongok ke arah rumahmu dari jendela kamar ibuku. Tapi kamu tidak tampak sama sekali terlihat olehku. Setelah satu minggu kita saling diam, aku memberanikan diri untuk duduk di tempat yang biasa kita gunakan untuk menunggu.
Lama ku menunggu akhirnya kamu datang. Tanpa memandangku (aku tahu itu karena aku memandangimu terus saat kamu mendekat ke arahku) kamu mengambil duduk di sampingku. Dengan tatapan yang terus mengarah ke wajahmu, aku menunggu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya. Aku takut untuk tersenyum saat itu, saat itu kupikir aku akan kehilangan seorang teman yang baik yang selalu menemaniku, saat itu pula aku ingin meminta maaf kepadamu, namun seperti kehilangan kekuatan aku sama sekali tidak mengatakan apa-apa kepadamu.

“Kata mamah, ayam duluan yang ada,. aku mau minta maaf,” Ucapmu kepadaku.
Sesungguhnya aku malu untuk menceritakan hal ini, itu semua karena aku membiarkanmu meminta maaf lebih dahulu untuk sesuatu yang tak jelas kesalahan siapa! Tapi setidaknya aku memakluminya karena saat itu aku memang masih kecil. Belum dewasa.
Namun kemudian aku tersenyum bingung mendengar ucapanmu karena sebelumnya ibuku bilang kepadaku bahwa yang ada terlebih dahulu adalah telur, dan saat aku duduk di sana sebenarnya akulah yang seharusnya meminta maaf. Tetapi hal tersebut aku urungkan untuk kulakukan karena kamu telah meminta maaf lebih dahulu.
“aku juga mau minta maaf udah bikin kamu nangis,” Ucapku singkat tanpa memberitahukanmu perihal ayam dan telur yang dijelaskan Ibuku.
“iya, aku emang cengeng,” Ucapmu polos.

Entah kenapa aku merasa aneh saat melihatmu menangis saat itu, seakan aku akan kehilangan kebahagiaan seorang teman yang telah banyak membuatku bahagia. Dan di tempat itu, aku memintamu untuk berjanji padaku bahwa kamu tidak akan pernah menangis lagi. Kamu membalasnya dengan senyuman terindah yang pernah kulihat selama kita saling kenal.
Saat itu, dua jari kelingking kita saling berkait, menandakan kamu berjanji tidak akan menangis lagi dan aku berjanji di dalam hatiku tidak akan akan membuatmu menangis lagi. Meski janji itu akhirnya patah karena aku yang kembali membuatmu menangis. Meski tangisan itu tidak berarti kamu akan meninggalkanku seseorang yang telah kau buat bahagia, namun setiap kali kamu menangis, setiap kali itu pula aku merasa takut untuk kehilangan kebahagiaanmu, kebahagiaan seseorang yang telah membuatku merasa begitu bahagia.

mimpi seorang pengarang

Ini adalah sepenggal mimpi dari pengarangnya :

Semburat cahaya jingga memayungi hati yang gelisah.
Kegelisahan itu adalah tentang ketidak setaraan, tentang berbedanya hidup antara diri dan nya.

Masa lalunya adalah sebuah kehidupan yang penuh kehebatan.
Adalah kehidupan yang penuh kenikmatan. Arti hidup dari mereka yang bahagia dan berusaha membahagiakan orang lain.
Sementara masa lalu diri ini adalah sebuah kehidupan yang semu. Sebuah kehidupan yang penuh ide, namun gagal berkembang karena ketidak mampuan. Satu dunia di antara dua dunia yang nyata dan berlawanan.

Dan hidup di antara diri dan nya terjalin satu jembatan kehidupan.
Diri ini merasa asing, kehidupannya membawaku pada dimensi ketiadaan. Satu dimensi kosong yang membuat diri meraba keadaan yang terlalu hebat.
Seketika itu juga, ketika jingga hampir musnah termakan merahnya langit, diri ini merasa tak pantas dengannya. Diri ini tak berdaya oleh masa lalunya.
Apa yang harus dipelajari dari masa lalunya adalah berlawanan dengan kemampuan diri.

Seketika setelah langit merah berubah geLap, diri ini merasa kosong. Sakit di hati sejadi-jadinya merasuk.
Teringat semua tentang masa lalunya :
Ternyata aku tidak cukup tahu, dan tidak cukup mampu.

Untuk menghadirkan masa lalu kehadapannya sungguh diri ini tak mampu. Tak cukup tahu, tak cukup mampu untuk tahu, dan tidak tahu bila diri cukup mampu.
Seandainya mampu, diri tetap tak mau. Karena inilah adanya :
Aku adalah aku.
Seorang utuh apa adanya seperti sekarang ini. Seorang diri yang tak mampu dan tak mau untuk menjadi seorang yang mampu bangkitkan kebahagiaan lalumu.
Bangun, mimpi itu telah berlalu.
Jadikan aku sebagai aku.
Jangan kamu impikan aku seperti masa lalumu.

Aku tak menyesal tak cukup tahu, karena aku tak mau.
Namun aku menyesal, seandainya aku tak mampu : Menghentikanmu mencari kebahagiaanmu yang telah lalu.

Bangun. Jangan bermimpi terus...

Mengatur Hidup Seseorang

Saat kita menjelekkan sesuatu, atau seseorang. Sadarlah bahwa kita sedang menjelekkan diri kita sendiri.

Manusia banyak yang berpikir bahwa mereka adalah penentu dari kehidupan banyak orang. He.. kalau masalah itu gue juga pernah ngalamin. Gimana rasanya jadi orang egois yang bener-bener pengen banget campur tangan ke kehidupan orang lain. enggak usah sebut merk, tapi seenggaknya gue sadar saat dia ngomong bahwa kehidupan yang dia jalani adalah tanggung jawab penuh dari dirinya sendiri.
Dan seketika itu juga gue sadar, sebanyak dan sepaham apapun gue tentang sesuatu atau tentang kehidupan seseorang. Kehidupan adalah hak mutlak bagi si pemilik untuk menentukan arah dari apa yang ia jalani. Memang manusia terkadang merasa paling tahu dan merasa paling mengerti tentang kehidupan seseorang, tetapi apa yang kita tahu dan mengerti itu tetap bukanlah kehidupan kita sendiri. Sehingga apapun yang kita tahu dan mengerti tidak akan pernah sama dengan pengetahuan dan pengertian seseorang itu sendiri.
Cara memengaruhi seseorang untuk menyamakan persepsi tentang sesuatu, adalah satu cara yang handal untuk meneruskan maksud hati untuk mendikte kehidupan seseorang. Tetapi saat pengaruh dari apa yang kita tahu dan mengerti menemui titik nadir kematiannya, tidak sedikit orang yang tidak mampu menahan keegoisannya dan menggunakan berbagai cara, meski cara terjelek sekalipun, untuk tetap memiliki andil dalam kehidupan seseorang.
Untuk menjadi seseorang yang tidak diinginkan memang berat. Namun akan menjadi lebih berat lagi saat kita menjadi orang yang tidak diinginkan dan tetap egois untuk menjadi seseorang yang diinginkan. Kalau untuk masalah ini, biasanya adalah orang yang dicintai.
Namun cinta bukanlah sumber dari semua kekuasaan yang ada di dunia ini. Cinta tidak dapat membuat seorang anak menuruti semua kehendak orang tuanya bukan? Padahal orang tua adalah seseorang yang paling mencintai anaknya, orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya (menurut versi mereka), tetapi dengan cinta yang telah teruji ketulusannya, dengan pengetahuan, dan pengertian yang dimiliki orang tua. mereka tetap tidak dapat memaksakan seorang anak untuk benar-benar menjadi seseorang yang mereka mau.

Contoh sederhana :

Seorang Ibu yang mencintai anaknya menginginkan seorang anak sulungnya untuk menjadi pegawai negeri, tetapi anaknya bersikeras untuk menjadi seorang musisi. Berbagai cara dilakukan oleh sang ibu untuk anaknya menjauhi dunia musik. Salah satunya adalah menjelek-jelekkan dunia musik.
‘dunia musik itu identik sama narkoba, seks bebas, dan kehidupan malam. Apalagi kalau dunia artis, semua orang itu dipaksa untuk munafik.’ Jelas sang Ibu kepada anak sulungnya.

Seorang ibu itu tidak salah. Tidak pernah salah. Karena ia melakukan hal tersebut memang sepengetahuannya. Terlebih latar belakang dari sang ibu menjelek-jelekkan dunia musik adalah karena ia mencintai anaknya dan ingin anaknya hidup bahagia tanpa harus mendapatkan sesuatu yang tidak diinginkan.
Tetapi anak sulungnya adalah seorang anak yang berpikir dan keras. Ia tidak menginginkan status sebagai pegawai negeri. Bukan karena masa depan yang dijanjikan tidak cerah, tetapi memang hatinya bukanlah pada kerja yang mengabdi tanpa batas. Hatinya adalah bebas, ia masih merasa bahwa hidup ini adalah hidup yang harus melahirkan kreatifitas. Bebas.
Dan musik adalah jalan hidupnya. Alhasil, anak sulungnya menekuni bidang musik tanpa dukungan dari orang tuanya. Dan dengan cinta, orang tua tidak memiliki cukup alasan untuk mengatur kehidupan anaknya. Karena secinta atau sesayang apapun orang tua, kehidupan seorang manusia adalah tetap hal yang paling prinsipil yang tak boleh (seharusnya) untuk diatur secara mutlak.
Orang tua hanya dapat mengarahkan anak-anak yang mereka sayangi dengan masukan-masukan, dengan wejangan-wejangan mereka. Selepas itu semua, anak jualah yang menentukan.
Dan seorang anak sulung yang menentang kehendak orang tuanya, berhasil membuktikan bahwa apa yang dikatakan oleh orang tuanya adalah sesuatu yang menjadi pelajaran baginya.
‘Dunia musik yang dikenal orang memang seperti yang ibu katakan, tapi setidaknya dunia musik yang saya kenal sekarang tidak tampak seperti yang ibu katakan.’

Sudah seharusnya sang Ibu menerima apa yang menjadi pilihan anaknya. Bahwa apa yang beliau inginkan tidak dapat terlaksana. Dan seharusnya dengan cinta yang beliau miliki, beliau patut untuk tenang. Karena seorang anak yang ia sayangi telah menemukan satu dunia yang ia yakini baik. Meski di kepala sang Ibu dunia musik masih sama seperti apa yang ada di kepalanya.

*

Mampukah kita untuk menerima?

Kita selalu mengatas namakan cinta dan kepedulian untuk menguasai hidup seseorang yang kita sayangi. Padahal jalan untuk menguasai kehidupan seseorang dengan apapun alasannya tetaplah satu tindakan yang egois. Tindakan yang salah. Karena manusia memiliki jalan hidupnya masing-masing.
“aku takut nanti kamu kenapa-kenapa… aku kan jadi khawatir terus…” begitu ucap seseorang yang mencintai seseorang lainnya.
Ketakutan dan kekhawatiran adalah salah satu hasil dari rasa cinta. Termasuk juga rasa sakit karena kehilangan. Semua itu adalah konsekuensi dari mencintai. Apabila kita hanya ingin menghindari konsekuensi dengan mengekang kehidupan seseorang dan mengatur semua apa yang ada. Bukankah itu menandakan betapa egoisnya kita?


Mulailah menerima apa yang mungkin terjadi. Mulailah menerima keputusan seseorang, mulailah untuk rela melepaskan sesuatu, dan mulailah untuk hidup pada kehidupan kita sendiri. Karena secinta apapun kita kepada seseorang, kita tetaplah manusia-manusia yang memiliki kehidupan dan keinginan yang berbeda. Mungkin bisa menjadi satu, tetapi disaat perbedaan muncul dan tidak dapat disatukan, mulailah menerima perbedaan itu sebagai perbedaan yang indah.
Manusia menjadi besar karena dapat bertanggung jawab atas apa yang ia pilih. Manusia menjadi dewasa karena menjalani apa yang telah ia pelajari. Manusia menjadi kuat saat mereka percaya kepada dirinya.
Manusia menjadi kerdil saat ia tidak bertanggung jawab atas hidupnya dan lebih memilih menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi. Manusia menjadi kecil karena tidak belajar dari apa yang pernah ia lalui, dan manusia menjadi lemah saat mereka tidak pernah percaya kepada dirinya sendiri.
“Hidup gue ancur karena lo ninggalin gue! Gue kecewa karena lo kaya’ gitu. Gue mau mati aja!” ucap seorang depresi yang ditinggalin pacar.

Semua itu bukan salah siapa-siapa. Pacar/orang yang kita sayangi adalah motivasi tambahan. Motivasi yang sesungguhnya lahir dari kepercayaan diri. Di saat kita lemah, adalah di saat diri kita berusaha menyalahkan orang lain atas ketidak mampuan kita.
Memang wajar bila kita menjadi lemah saat ditinggalkan seseorang yang kita sayang, tetapi menjadi tidak wajar bila kelemahan itu terus berlanjut dan berlarut. Karena kita selalu memiliki banyak jalan untuk menjadi kuat dan menjadi diri kita yang seutuhnya.
Saat kita menjelekkan sesuatu, atau seseorang. Sadarlah bahwa kita sedang menjelekkan diri kita sendiri.
Saat kita menyalahkan orang lain atas apa yang kita cari sendiri, sadarlah bahwa kita sedang menyalahkan diri kita sendiri.
Saat kita pernah melukai hati seseorang, sadarlah suatu saat kita akan merasakan hati kita dilukai.
Tidak semua hal yang kita anggap baik juga dianggap baik oleh orang lain. Begitu juga sebaliknya. Semua adalah relatif, ketidak baikan sewaktu-waktu dapat berubah, begitu juga dengan kebaikan. Manusia adalah makhluk penun lika-liku dan intrik. Seperti kebaikan dan kesempuraan. Sesungguhnya manusia bukanlah makhluk yang dapat dipercaya, karena hanya Tuhan yang dapat dipercaya secara total..
(Tapi bukan berarti kita enggak boleh percaya sama orang. He..)

Cukup sekian dari saya semoga dapat memberikan manfaat bagi anda semua, maaf apabila saya mengganggu perjalanan bapak dan ibu sekalian, namun saya hanya mencari rejeki dari apa yang saya lakukan ini. (lho? Ini kok kayak pengamen di bis sih?!!!)